Surat Dari Tanjung Benoa (Indonesian) Poem by Imam Setiaji Ronoatmojo

Surat Dari Tanjung Benoa (Indonesian)

Tanjung Benoa,22 Juli 2010, jelang subuh

Pada pagi dinihariku yang terakhir di pantai yang lebih senyap dari pantai Kuta, tiba-tiba aku ingin menulis surat pada siapa saja perempuan, sosok yang cantik dan lemah gemulai, sosok dengan penuh pesona ibunda, sosok yang tak pernah punya dendam, sosok yang pemaaf, karena ia terilhami oleh ar-rahim.

Mungkin ini adalah sebagian dari kegombalanku, tapi haruskah aku dikatakan gombal dulu sebelum aku mengucapkannya secara tulus, bahwa aku tak bisa hidup tanpa perempuan.

Ia begitu mengobsesiku, untuk terus hidup meski didera oleh penyakit pemberian sang maha Kekasih. Sementara Tuhan begitu jauh dan dingin, tanpa sosok Ibunda, Allah adalah jauh dari pandanganku.

Tetapi dengan adanya perempuan bernama Ibunda, Allah jadi semakin nyata, Ia adalah sosok sang Maha Pengasih. Yang terus hadir diantara gumaman doa dari perempuan tua, yang bermata sangat bening dan selalu mengusap-usap rambutku.

Perempuan maha hebat, Ia mudah sekali untuk memaafkan keburukan lelaki, tetapi ia sangat memendam akan kebaikan masa-masa lalu yang indah. Dengan air mata yang tak ingin diketahui orang.

Ia bisa saja punya banyak sekali keinginan, harapan, cita-cita, cinta kasih sayang, yang tak pernah kesampaian, menabrak dinding karang. Tetapi, lain dengan laki-laki, Ia sosok yang tahan untuk bertahan dengan kesedihan, yang mampu menahan harapan dengan senyuman seorang Ibu.

Seseorang perempuan, kebanyakan lebih tahan sendirian utk membesarkan anak-anaknya, sedangkan laki-laki, seperti aku, betapa tak tahannya ditinggal perempuan, untuk membesarkan anak-anak.

Akulah sosok yang memendam kekaguman pada perempuan, tetapi juga sosok yang memendam kekhawatiran pada perempuan. Karena kenyataannya ia selalu kalah dalam kehidupan masyarakat. Dalam politik, ia hanya jadi wacana, paling gres di Muhamadiyah, tak ada wakil yang berarti. Pada kehidupan sosial, kenapa perempuan yang ditarik-tarik, kau dipersalahkan, dalam kasus LM dan CT, perempuan hanyalah korban kebuasan laki-laki.

Aku menarik nafas sangat panjang, dalam suratku ini.

Bagi perempuan yang jadi istriku, aku hanyalah lelaki lemah yang selalu kembali ke pelukanmu, dan apapun aku, engkau selalu menerimanya, dan bagi anak-anakku yang perempuan, hari masih panjang ke depan, semoga engkau jadi perempuan yang kuat, mandiri dan sekaligus lemah lembut dan penyayang. Kalian semua adalah mutiara dari dasar samudera.

COMMENTS OF THE POEM
READ THIS POEM IN OTHER LANGUAGES
Close
Error Success