Rubaiyat [xliv]: Ihbat Al-Ilmi Poem by Ilham Q Moehiddin

Rubaiyat [xliv]: Ihbat Al-Ilmi

(berpaling dari kebenaran ilmu)

pada suatu waktu,
tuhan meletakkan sebiji benih
pada sebuah gundukan tanah subur.
itu adalah benih dari pohon pengetahuan.

benih itu tumbuh luar biasa pesatnya.
dari batangnya tumbuh dahan dahan subur,
dari dahannya tumbuh ranting ranting subur,
dari rantingnya tumbuh pucuk pucuk subur,

tumbuh pula bunga bunga harum,
kemudian muncul tunas tunas muda, dan
buah buah yang manis.
itu buah pengetahuan.

seketika berkerumun manusia manusia di bawah pohon itu.
mereka dengan rakus memanjati dahan dahannya,
saling menginjak kepala, saling menarik jubah
mencoba menjangkau buah buah yang manis itu.

jika tangan mereka berhasil menggapainya,
mereka lantas bergelantungan di sana dengan gembira dan gelora.
menguasainya dengan menyikut siapa saja yang mendekat dan
hendak membaui sedikit harum bunga dan mencecap rasa manis buahnya.

mereka kemudian merasa hebat dan tinggi hati
perihal buah pengetahuan yang mereka kuasai.
segala falsafah sampah kemudian lahir dari bibir mereka
setiap kali usai mengigit sedikit buah itu.

mereka gila dengan hal hal baru yang keluar dari mulut mereka.
pada apa yang mereka panggang sendiri dari burit mereka
sampai sampai mereka tak sadar beberapa buah jatuh ke tanah
karena kegaduhan yang mereka buat di atas pohon pengetahuan.

buah buah yang jatuh kemudian menumbuhkan benih baru,
membentuk pohon pengetahuan baru, dan
seketika mengubah tempat itu menjadi belantara yang
penuh pohon pengetahuan.

sehingga orang orang yang datang belakangan
tidak lagi menemukan sebatang pohon, tetapi belantara yang rimbun dan gelap.
jika mereka mencoba masuk, bukan berhasil menemukan
pohon pengetahuan yang mereka cari, justru mereka tersesat.

mereka tidak tahu, bahwa pohon pengetahuan itu telah menjelma hutan.
bahwa dibibir hutan pun pohon pengetahuan bisa dengan mudah mereka dapati,
tanpa harus masuk lebih dalam.
ohoi…kebodohan.

karena sering tersesat dalam ketidaktahuan,
mereka, orang orang yang datang belakangan
akhirnya hanya duduk duduk saja di lantai hutan,
mulai menjalin akar akar pohon menjadi tikar.

setelah tikar mereka selesai anyam, mereka pun duduk diatasnya,
merasakan diri mereka sendiri seolah olah filsuf,
orang bijak, cendekia, yang asik menunggui
orang linglung yang lewat atau tersasar dalam hutan itu.

mereka merangah pada orang orang yang lewat itu,
memberikan buih busuk yang memutih di sudut bibir mereka.
mendidihkan nalar someng serupa pengkaji lantip
bak kepalsuan senyum dan tuturan.

lihat kembali, para manusia yang
bergelantungan pada buah buah pengetahuan.
mereka tetap gaduh, tetap saling sikut,
tetap saling membentak satu dengan lainnya.

mereka merasa berhak di sebut sebagai penguasa ilmu,
penakluk pengetahuan, penerima berkah, pengutip sejati, penerima cerah.
mereka mengolok olok orang orang yang
duduk di lantai hutan, sebagai manusia yang lebih pandir dari mereka.

katanya, merekalah pemegang kunci martabat,
sehingga mereka dengan gampang meluncurkan ludah pada
orang orang di bawah pohon.
seperti ranggas beluntas di parit parit payau.

hinaan mereka seperti petir yang menyambar siang hari,
seperti halilintar yang gemuruh sore hari.
seperti buaya yang belajar bernyanyi
laksana pontinus yang mendengkur di kandang onta.

pena mereka lincah menari pada
helai demi helai kertas yang
mereka tulisi dengan pasal pasal kebodohan, yang
sebentar sebentar mereka lemparkan ke bawah pohon.

padahal apa apa yang mereka tuliskan itu
tidak lebih tinggi nilainya dari lemak di punuk onta.
tidak lebih berharga dari segenggam beras
tidak lebih memabukkan dari anggur di dalam cawan

padahal mereka hanya mengigit sedikit saja daging buah pengetahuan dan
menyimpan banyak sisanya sebagai pegangan mereka bergelantungan.
mereka mengklaim diri sendiri.
mereka melingkap diri dari kepongahan yang terukur

merasa paling berkuasa atas ilmu digenggaman,
padahal tanpa mereka sadari, akibat kegaduhan yang mereka perbuat,
buah pengetahuan yang jatuh ke tanah lebih banyak
dari satu satunya buah yang mereka jadikan pegangan bergantung.

mereka tidak sadar, bahwa mereka lebih banyak kehilangan
daripada yang mereka dapatkan.
bahkan mereka lupa pada siapa yang
telah meletakkan benih itu semula.

COMMENTS OF THE POEM
READ THIS POEM IN OTHER LANGUAGES
Close
Error Success