Joko Pinurbo

Joko Pinurbo Poems

Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya.
Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore
bersiap menyaksikan kematiannya.
Malam masih ngelangut, seperti masa muda
yang harus bergegas ke pelabuhan,
meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.

Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
di cangkir ungu, sambil bersiul dan sesekali berlagu.

"Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua
yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki."

Ia berdiri di ambang pintu.
Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.
Mereka gemetar dan memandang ragu.

"Maaf, kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
di sekitar bola mata Anda."

"Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan balik menyerang Saudara."

"Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakannya."

"Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata."

Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
lenyap ditelan malam dan hujan.

Sementara di atas seratus halaman majalah
yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:
"Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya."

Lalu ia tidur pulas.
Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.
...

The gang of killers, who had surrounded his house,
shivered in rain that since early evening
had prepared to witness his death.
The night was somber,
like a young man forced to rush off to the harbor
leaving behind beautiful moments, full of memories.

He was calm, wanting only peace,
when facing the final moments of destruction.
He was dressed in white, with his hair combed neatly
and his face immaculate. Whistling and singing occasionally,
he even had the time to finish the last of the coffee
in his purple cup.

"Welcome. I've already prepared everything
you came here to seize and destroy:
words, voices, or whatever it is you're afraid of,
but which I don't actually possess."

He stood in the doorway,
staring at the killers' faces, one by one.
They trembled and looked around hesitantly.

"Excuse us, we're rather nervous.
You're braver, it turns out, than we expected.
We can see words forming a bold line
around your eyes."

"Thanks, you can still make jokes
and pretend to humor me.
Quick, do your job, or your words
will come back to haunt you."

"All right, then, permit us to confiscate the words
that you've prepared so willingly.
We'll do our best to annihilate them."

"No problem, they're only words.
I have something more awesome than words."

Speechless, the pack of killers marched home,
their frightful shapes, their savage faces,
swallowed by the night and the rain.

Meanwhile, on hundreds of deserted and lonely magazine
pages, words moved cheerfully about, as in a quiet-filled
garden, because, as he had written in red ink:
"Words are like butterflies competing for flowers,
or flowers competing for color,
or color competing for light,
or light competing for the heavens,
or the heavens competing for me."

He slept soundly then, when outside
another pack of killers surrounded his house.
...

Iring-iringan panser mondar-mandir di jalur-jalur rawan di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap komandan melihat kelebat seorang demonstran yang gerak- geriknya dianggap mencurigakan. Pasukan disiagakan dan diperintahkan untuk memblokir setiap jalan. Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika. Komandan berteriak, "Kalian sembunyikan di mana penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya." Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara, "Dia sakit perut Komandan, lantas terbirit-birit ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi di sana." "Sialan!" umpat komandan geram sekali, lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli. Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya. "Lega," katanya. Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula. Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melalap dan menghanguskan mayat-mayat korban.
...

Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang.

Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.

Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.

"Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai."

Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa negara, tanpa agama.

Hanya ia yang mendengar sekaratnya.

"Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucecap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur."

Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.

"Ia sudah pergi ke kota," katanya,
"dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya."
...

Towards evening, death came to the bed.

The party members who escorted him there
had dispersed, together with the soldiers
who wove a necklace of barbed wire
around his neck and disposed of his body
earlier that day.

There was only a woman, praying,
her head covered in funeral cloth,
her arms wide apart, offering her weary body.

"Father, it is not yet over.
I don't know how long this journey will take."

She was the only person prepared
to follow the will of God,
to be friends with death,
to ready the bed for this cowardly man;
this citizen of no country, this follower of no faith.

Only she heard his final agony.

"I have drunk the wine
from the fountain of blood.
I have drowned in the wound
that the whips tore in his side.
I have paid my respects to the map of a broken land,
engraved on the body of God."

Death had nothing to offer
when they came to steal his body.
There was only a woman washing a cross
at one corner of the bed.

"He has set out for the city," she said,
"and you will never be able to catch him."
...

Ranjang bergoyang sepanjang malam.

Mungkin sepasang nyawa, sepasang singa,
sedang tempur.
Atau sepasang maut sedang perang.

Ranjang bergoyang sepanjang malam

Padahal cuma ada sepasang celana
teronggok putih di bantal hitam.
...

The bed shook all night long.

Perhaps two souls, two lions were fighting.
Or two deaths waged war.

The bed shook all night long.

While in fact there was only a pair of pants,
a white heap on a black pillow.
...

Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam
dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan.

Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah
sementara pena yang dihunusnya belum mau patah.
...

Words are goblins which come out in the middle of the night,
they are not saints, immune to all temptation.

When goblins gather, their bodies are covered with blood,
and the pens they sharpen will never break.
...

Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi.
Ia datang dengan sebuah headline yang megah:
"Telah kubredel ketakutan dan kegemetaranmu.
Kini bisa kaurayakan kesepian dan kesendirianmu
dengan lebih meriah."
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai
di atas halaman-halaman hilang, rubrik-rubrik terbengkelai.

Malam menebar debar.
Di sebuah kolom yang rindang, kolom yang teduh,
ia kumpulkan huruf-huruf yang cerai-berai
dan merangkainya jadi sebuah komposisi kedamaian.
Namun masih juga ia cabar:
"Kenapa ya aku masih kesepian. Seakan tak bisa tenteram
tanpa suara-suara riuh dan kata-kata gaduh."
"Mungkin karena kau terlampau terikat pada makna
yang berkelebat sesaat," demikian
seperti telah ia temukan jawaban.

Begitulah, ia hikmati malam yang cerau
Dan mencoba menghalau galau dan risau.
Dibetulkannya rambut ranggas yang menjuntai
di atas dahi nan pasai. Dibelainya kumis kusut
dan cambang capai yang menjalar di selingkar sangsai.
Sementara di luar hujan dan angin berkejaran
menggelar konvoi kemurungan.
Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
Saya ini apalah Tuhan.
Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
pada serial catatan pinggir;
sisa aroma pada seonggok beha;
dan bau kecut pada sisa cinta.
Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan.
Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
yang habis terbakar;
sekeping puisi yang terpental
dilabrak batalion iklan.

Dan Tuhan datang malam ini
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni
cericit tikus dan celoteh sepi.
Ia datang bersama empat ribu pasukan,
Lengkap dengan borgol dan senapan.
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:
"Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.
Kami cuma orang-orang kesepian.
Kami ingin bergabung bersama Anda
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.
Sesudah itu perkenankan kami sita dan kami bawa
semua yang Anda punya, sungguhpun
cuma berkas-berkas tua
dan halaman-halaman kosong semata."

Tuhan, mereka sangat ketakutan.
Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.
...

God came tonight, to a dark warehouse,
inhabited by squeaking mice and lonely chatter.
He came with the grand headline:
"I have banned fear and uncertainty.
Now you can truly celebrate
your loneliness and your aloneness."
Listen, as God passes triumphantly across
the lost pages and unread editorials.

Night scatters restless heartbeats.
In a leafy column, a calm column,
he gathers scattered letters
and joins them into an essay on peace.
The night struggles:
"Why am I so lonely?
Why can I only find peace
in noisy voices and loud quarrels?"
"Perhaps you are too attached
to definitions whose meanings never last."
This was the answer he sought.

Truly, he was blessed that night
in the pouring rain, as he struggled
to be free of uncertainty and doubt.
He pushed the straggling hair
back from his broad forehead.
He brushed his curling moustache
and the sideburns growing around his misery.
Outside, the wind and the rain chased each other,
forming a long convoy of gloom.
Then he took his pen, sharpened it
on his wound, and wrote:
What am I, God?
I am the footprints of a wanderer
across a series of commentaries in a newspaper;
the lingering aroma of old brassieres
the smell of semen after making love.
I am only a heap of worries, God.
I am only a hundred hectares of newsprint
after a bushfire; a discarded poem
besieged by five battalions of advertising.

And God came tonight
to a dark warehouse, underground,
inhabited by squeaking mice
and lonely chatter.
He came with four thousand troops
armed with handcuffs and rifles.
Can you hear them, banging on the door
and shouting:
"Don't try to stop us.
Don't try to run away and hide.
We are lonely too.
We just want to be with you
in a leafy column, a calm column.
Let us gather our weapons
and shape them into an article on fear.
Then, if we may, we'll confiscate all that you own,
and take it away, even if it is no more
than worthless trash
and empty pages."

Take their fear, Oh God,
And lead them into the land of good news.
...

The Best Poem Of Joko Pinurbo

MALAM PEMBREDELAN

Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya.
Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore
bersiap menyaksikan kematiannya.
Malam masih ngelangut, seperti masa muda
yang harus bergegas ke pelabuhan,
meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.

Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
di cangkir ungu, sambil bersiul dan sesekali berlagu.

"Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua
yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki."

Ia berdiri di ambang pintu.
Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.
Mereka gemetar dan memandang ragu.

"Maaf, kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
di sekitar bola mata Anda."

"Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan balik menyerang Saudara."

"Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakannya."

"Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata."

Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
lenyap ditelan malam dan hujan.

Sementara di atas seratus halaman majalah
yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:
"Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya."

Lalu ia tidur pulas.
Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.

Joko Pinurbo Comments

Joko Pinurbo Popularity

Joko Pinurbo Popularity

Close
Error Success