Monolog Waktu Poem by Deni Irwansyah

Monolog Waktu



'In the Name of Allah, the Merciful, the Most Merciful'
kami adalah orang-orang yang tak pandai bertaubat
dan tak cerdas bersyukur

'Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan,
dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah
dari perintah-perintah kami.'

(QS. Al-Kahfi,18: 88)

rembulan membara di atas kabut pegunungan
gairah gerak angin tak lagi terpenjara waktu
kawanan kelelawar menyeruak dari gua-gua pengasingan
berdamai dengan nafas keremangan merah malam
bening air jatuh dari ujung bebatu meneteskan mimpi
meraih warna langit dalam semangat langkah yang baru

marilah kawan
berjalan bergenggam tangan
makin cepat dalam derap sepatu ribuan kuda jantan
mata kita matahari langit ketujuh
mata kita mata diri delapanpuluh purnama
mata kita mata hati sembilanpuluh sembilan bintang
mata kita mata doa seratus putaran bima sakti

kita pernah sakit dan mencaci muka
mencabik dada memberangus rasa
mengurung sukma di ceruk-ceruk bumi
berlari ke bukit tak temukan arah
berdiam di kubangan tak dapatkan harapan
berbaring di kesunyian mengubur angan
berdiri di pucuk menara kota tak berdaya
berpaling jiwa hanya membunuh jaman

bangkitlah kawan
nyanyimu adalah gema dalam hentakan beat ritual perang
deru kemerdekaan terukir mengkilatkan plat-plat tameng baja
pedang yang kita cengkeram telah tajam di kedua kutubnya
ini kasih yang indah dalam keselarasan orbit semesta

tidakkah kau lihat
abad-abad persemaian diri
bertolak dari luka adam dan kesepian hawa
tak berujung di buaian kemegahan istana Sulaiman
tak berbatas di pelukan harta Ratu Saba
tak selesai pada puncak kejayaan Iskandar yang Agung
tak habis dalam kisah misteri persembunyian para kahfi
penindasan Nero masih berlanjut
keserakahan dan keangkuhan kaum Nuh masih kentara
gejolak syahwat masih bagai di Sodom dan Gomorrah

tidakkah kau jeli baju yusuf koyak di belakang
lalu Zulaikha bersembunyi di balik fakta birahinya
pemuda itu adalah pilihan-Nya
sebelas bintang, bulan dan matahari bersujud padanya
pada kemurnian jiwa
pada kekuatan ruh kesabaran
pada pijaran tabir-tabir mimpinya

tidakkah kau dengar
suara-suara bijak di telingamu
telah sampai sebagai tanda dan simbol-simbol pengabdian
telah datang menjadi lantunan puji-pujian yang mahanada
telah bergema membentur dinding tafakurmu yang kokoh
nyanyian hidup kau pahat pada pilar-pilar cahaya angkasa

tidakkah kau simak
desing peluru menembus perut anak-anak tak berdosa
dentuman mortir menghujam batok-batok kepala bapak kita
deru roda besi tank-tank di garis depan para penguasa
meremas punggung pemuda yang jatuh di pangkuan ibunda
hingar bingar pesawat dengan moncong runcing yang buas
halilintar menyatu di kepulan asap reruntuhan bangunan
tembok-tembok yang hancur adalah penderitaan khalifah bumi
yang masih tegak berdiri lutut melontar seribu kerikil
teriakan, jeritan. dan tangisan menjadi perlawanan
yang tak surut di ujung tanduk dajjal

rembulan merekah biru di puncak pegunungan
gairah gerak angin melepas bebas kepenatan pengelana
kawanan kelelawar kembali ke gua-gua pengasingan
berdamai dengan nafas putih sutera malam
bening dzikir berjatuhan dari lancip dedaun sunyi
meraih warnaMu langit lautan bahtera rindu
semangat langkah makin baru

sejarah dicatat untuk dibaca
sejarah dibangun untuk dipahami
sejarah adalah kuburan puing-puing air mata
sejarah kita monolog waktu berabad-abad
detik sinaran siang
sejarah kita rangkaian babak sebuah drama
yang dirancang tuhan
dalam episode-episode api, cinta, dan doa

benteng-benteng pertahanan kita adalah kearifan
benteng-benteng pertahanan kita adalah keikhlasan
kekalahan adalah ujian pertempuran sejati
kemenangan hanya peristirahatan sementara
ruh kita adalah pinjaman yang fana

pergilah menumpang sayap Jibril
berpegang pada tali-tali fitrah diri
menerjemahkan ayat-ayat hayati
bahwa di keluasan jagat itu
masih ada kitab agenda kita yang terbungkus
begitu rapi di balik hijau rimbunan padi
di sela batu karang tepi lautan, dalam dingin
rimba raya auramu, di parit-parit garda perang
dalam kesunyian, dalam keheningan, saat penyerahan
pada helai bulu-bulu keluarga beburung timur
pada ribuan kepak tangan badai kupu-kupu
pada jejak-jejak lintasan kejora
lalu kita bergegas belajar dan bekerja bagai
awal pagi yang tak saling kejaran dengan akhir senja

Nagreg,15 April 2011

COMMENTS OF THE POEM
READ THIS POEM IN OTHER LANGUAGES
Close
Error Success