Sang Malam membacakan dongeng Mimpi, tapi mataku tak jua terpejam, dongengnya terlalu kejam.
Sang Malam nyanyi ninabobo, mataku kian menyala, kenangan terpajang bak piala.
Aku meringkuk saat Sang Malam berkisah pada Sepi Hari, tentang lelahnya nyanyi ninabobo, tak jua datang si Kantuk.
Sang Malam, menyelimuti anakanak buminya dengan selimut langit bersulam bintang perak, aku sembunyi di ruang benak.
Sang Malam, sibuk mengaduk bercangkir-cangkir kopi, demi sahabat yang mengejar asa yang lapuk.
Sang Malam, bersabar, kala aku mengusir si Kantuk, menemaniku sambil memeluk Sepi.
Sang Malam, Si Kantuk dan Sepi, berbisik-bisik perihal Mimpi, Mimpi yang kabur dari benakku.
Sang Malam kian sibuk, menata mimpimimpi yang tercecer di lantai asa, dan aku merengek sebuah mimpi yang usang
Sang Malam, masih tegar meski kepedihan itu muncul, rembulan yang pucat pasi mendengar berita lara.
Menjelang dini hari, Sang Malam sibuk membuka gerbang buana, menyambut malaikat berkeranjang berkat.
Sang Malam, tak pernah ragu, ia siap menantang pagi, lalu terkapar mati suri.