Gambit Menteri Poem by Titon Rahmawan

Gambit Menteri

Engkau pikir, aku akan memberimu sebuah ciuman untuk kegembiraan yang tak sepenuhnya ikhlas kauberikan. Padahal pada setiap helai daun itu aku telah memasang mata sekadar untuk mencuri lihat apa yang akan engkau lakukan.

Walau kau tak sepenuhnya mengerti, berapa banyak kamera yang sengaja aku pasang di sini, di sanctuary-ku ini. Itu sebabnya tak akan mudah bagimu untuk menaklukkan diriku dengan cumbu rayuanmu yang sudah usang itu. Sekalipun dengan kesabaran dan ketekunan yang boleh jadi telah membuatmu memenangkan banyak pertempuran.

Sesungguhnya engkau hanya mengambil secebis kenikmatan dari lidahku, dan bukanlah seluruh kehormatan yang aku pertaruhkan, sebagaimana yang engkau persangkakan. Sebab aku hanya mengorbankan sebuah bidak demi untuk merebut bentengmu. Bukan untuk sebuah permufakatan palsu, melainkan untuk memisahkan bara dari api. Untuk mengaduk gelas tanpa membuat airnya tumpah.

Ternyata, lidahmu hanyalah merah kesumba dan tak ada satu pun senjata yang kaumiliki mampu melukai dagingku. Sebab pisaumu majal belaka dan tak cukup tajam bahkan untuk mengerat karet gelang pengikat rambutku atau memutus tali dasterku. Sekalipun aku sengaja mengenakannya hanya untuk menyenangkan dirimu. Tapi hanya pada tubuh yang tumbuh dalam mimpimu sajalah aku berbaik hati untuk hadir berkali-kali, sekalipun engkau berharap itu akan jadi milikmu sementara atau selamanya.

Tidakkah selama ini engkau sadari, bahwa aku bukanlah aku yang biasa engkau lihat berbelanja telur, beras atau gula pada tukang sayur yang mangkal di depan rumah. Jangan pula kaukira aku adalah babu yang pura pura sibuk mencabut rumput dan menyapu halaman hanya untuk memancing perhatianmu.

Walau, sekali memang pernah kubuka pintu hanya untuk mengelabuimu. Untuk mengetahui seberapa tangguh kuda yang hendak aku tunggangi. Tapi bentengmu ternyata tak seperkasa yang aku duga. Lubukku bahkan masih jauh lebih dalam dari tenggorokanmu dan tali pancingku jauh lebih liat dari urat lehermu.

Dan ketahuilah, aku bukanlah kekasih gelapmu atau budak cintamu, melainkan musuh sejatimu. Ratu hitam yang akan selalu membayang-bayangi langkahmu di atas petak papan catur ini. Di mana kau susun bidak-bidakmu dalam formasi pembukaan gambit menteri, yang sudah aku hapal di luar kepala.

Namun aku juga mengenali semua variasi yang ingin engkau mainkan. Sebab ada banyak kemungkinan untuk mengantisipasi semua tipu muslihatmu yang sudah kedaluwarsa itu; dari pertahanan Slavia hingga Kontragambit Albin. Dari Pertahanan Baltik hingga pertahanan Chigorin.

Dan hahaha... engkau bukanlah raja yang mesti aku junjung dan aku bukanlah kawula yang dapat engkau perintah. Sebagaimana aku selalu mematahkan keinginanmu untuk memangkas dahan dari pohon mangga yang berbatasan di antara rumah kita. Mengusir ular jenaka berkaki tiga yang diam diam menyelinap ke kamar mandi, atau memperbaiki kabel listrik yang tiba tiba korsleting. Tak ada cukup alasan bagiku untuk mengerik punggungmu yang masuk angin atau memintamu mengurut pinggangku yang keseleo.

Tetapi hanya sepasang mata yang sudah tak awas lagi, dan barangkali gigi yang mulai tanggal yang akan terus menjauhkan dirimu dari satu satunya kemenangan yang engkau impi-impikan.
Selama engkau tak bersedia berfoto selfie bersamaku, dan mengabadikan semua luka yang kita sandang dari pertempuran yang tak kunjung usai ini.

Maka aku tak akan pernah lagi mengijinkan dirimu untuk mengisap putih darahku dari bagian tubuhku yang tersembunyi. Sebagaimana aku telah menetak lehermu berkali-kali dan mengusir mambang dari pohon sialang, agar aku bisa menumbai madu dari sarang tawon milikmu yang konon katamu lebih nikmat dari air surgawi.

COMMENTS OF THE POEM
READ THIS POEM IN OTHER LANGUAGES
Close
Error Success