Hikayat Adam Poem by Titon Rahmawan

Hikayat Adam

Rating: 5.0

Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas.

Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya.

Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini.

Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan?

Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki.

Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat.

Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu.

Dan tidaklah aku engkau hindarkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia.

Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur.

Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah?

Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kaubiarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan.

Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta.

Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.

COMMENTS OF THE POEM
READ THIS POEM IN OTHER LANGUAGES
Close
Error Success